Catatan Harian Seorang Penyintas

Catatan Harian Seorang Penyintas

Catatan Harian Seorang Penyintas

Ummu Rochimah

Hari ini harus keluar rumah untuk mengurus perpanjangan surat rujukan BPJS karena persediaan obat sudah menipis. Terakhir ke RSCM itu sepekan sebelum ramadhan. Saat itu karena surat rujukan masih berlaku hingga Juni maka dokter merekomendasikan obat untuk 2 bulan karena terkait kondisi di masa pandemi. Jadilah bulan Juni ini harus berkunjung lagi ke rumah sakit.

Diawali dari mengunjungi puskesmas kelurahan terlebih dahulu untuk mendapat surat rujukan ke RSUD, lalu dari sini dibuat lagi surat rujukan untuk ke RSCM. Kelihatan rumit dan panjang ya prosedurnya? Tapi, memang harus seperti itu ketika menggunakan layanan BPJS. Sama seperti bila hendak bepergian ke suatu tempat dengan naik mobil, bisa pilih jalan tol yang bebas hambatan dan lancar jaya dengan konsekuensi berbayar. Bila tidak mau berbayar, konsekuensinya lewat jalan biasa yang terkadang macet dan ada lampu pengatur lalu lintasnya. Terserah mau pilih yang mana? Karena sejatinya hidup itu adalah pilihan dan nikmatilah setiap pilihan yang telah diambil.

Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar harus menjalani terapi pengobatan rutin dengan minum obat untuk menghambat pertumbuhan sel-sel abnormal, dan harus mengunjungi fasilitas kesehatan dalam rangka kontrol setiap bulan selama 5 tahun untuk bisa dikategorikan sebagai penyintas?

Ketika menghitung masa 5 tahun dalam hitungan hari tentulah menjadi akan sangat banyak dan lama, ia akan menjelma menjadi sebuah angka 5 x 365 hari = 1.825 hari. Bukan angka yang kecil bila kita menjalaninya hanya dengan membuat turus-turus hingga mencapai angka tersebut.

Menjalani hari-hari sebagai seorang penyintas, bukanlah hal yang mudah, terkadang bayangan-bayangan hitam dan buruk sesekali berkelebat dalam pikiran. Membayangkan perpisahan dengan orang-orang yang dicintai akan meninggalkan setitik rasa perih dalam hati. Menurut saya ini sesuatu yang manusiawi. Sebagai manusia normal saya masih memiliki rasa takut dan khawatir terhadap hal-hal yang menjadi konsekuensi dari takdir ini. Meskipun di sisi lain saya meyakini bahwa takdir ini bukan menjadi satu-satunya penyebab akhir kehidupan.

Dekapan erat keluarga besar, suami dan anak-anak mampu mengurangi dan menghilangkan rasa perih yang terkadang melanda hati ini.

Melihat anak-anak bertumbuh dan berjuang untuk meraih kehidupannya di masa yang akan datang. Mendapat kesempatan untuk membersamai dan mengiringi mereka dalam meraih cita-cita dan harapan mereka menjadi obat tersendiri bagi diri ini.

Lebih dari 3 tahun sudah perjalanan takdir membawa diri ini pada satu titik balik dalam perjalanan hidup sebagai anak manusia. Betapa kesyukuran memenuhi seluruh ruang hati saat mengetahui bahwa Allah telah memberikan sinyal akan datangnya sebuah akhir kehidupan.

Betapa diri ini merasakan begitu besarnya kasih sayang Allah pada diri ini, hingga secara khusus memberikan sinyal akan perjalanan kehidupan. Sementara bagi kebanyakan manusia lain terkadang tak ada Allah berikan sinyal khusus itu.

Kini sampai masanya untuk melanjutkan perjalanan hidup dengan menyandang status penyintas, banyak yang ingin diraih oleh diri ini, diantaranya berharap dapat berjumpa Rabb dengan membawa Al Quran dalam setiap desah nafas ini. Membuat sebanyak-banyaknya jejak kebaikan yang dapat dirasakan oleh orang banyak dan mengukirnya menjadi sebuah legacy bagi orang-orang tercinta. Inilah yang mendorong diri ini untuk dapat terus menorehkan tulisan-tulisan yang semoga dapat bermanfaat sekaligus sebagai terapi jiwa dan mengalirkan rasa.

Hanya satu cita-cita saat ini, mendapatkan kesudahan yang baik melalui semua takdir yang telah Allah gariskan.

Rabu, 17 Juni 2020
RSUD Tebet

#catatanseorangpenyintas
#suratcintatukananda
#legacy

Ummu Rochimah

Tinggalkan Balasan