Jika Suami Pelit, Bagaimana Mencukupi Nafkah Istri?

Jika Suami Pelit, Bagaimana Mencukupi Nafkah Istri?

Oleh : Cahyadi Takariawan

 

 

Salah satu hal penting dalam komitmen hidup berumah tangga adalah soal nafkah. Disebutkan dalam kita Mu’jamul Wasith, bahwa nafkah adalah apa-apa yang dikeluarkan oleh suami untuk keluarganya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan yang selainnya.

Nafkah juga mencakup keperluan isteri sewaktu melahirkan, seperti pembiayaan bidan atau dokter yang menolong persalinan, biaya obat serta rumah sakit. Termasuk juga di dalamnya adalah pemenuhan kebutuhan biologis isteri.

Nafkah adalah Kewajiban Suami

Dalam syariat Islam, memenuhi nafkah bagi isteri hukumnya wajib berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ ulama. Kewajiban ini dibebankan kepada suami, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur`an :

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf” (QS. Al Baqarah : 233)

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan, “Dan kewajiban ayah si anak memberi nafkah (makan) dan pakaian kepada para ibu (si anak) dengan ma’ruf (baik), yaitu dengan kebiasaan yang telah berlaku pada semisal para ibu, dengan tanpa israf (berlebihan) dan tanpa bakhil (menyempitkan), sesuai dengan kemampuannya di dalam kemudahannya, pertengahannya, dan kesempitannya”.

Tentang kewajiban memenuhi nafkah ini, Nabi Saw telah menyatakan:

عَنْ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ “

Dari Mu’awiyah Al Qusyairi Ra, dia berkata: Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang dari kami yang menjadi kewajiban suaminya?” Beliau menjawab,”Engkau memberi makan kepadanya, jika engkau makan. Engkau memberi pakaian kepadanya, jika engkau berpakaian. Janganlah engkau pukul wajahnya, janganlah engkau memburukkannya, dan janganlah engkau meninggalkannya kecuali di dalam rumah”. (HR Abu Dawud, no. 2142; Ibnu Majah, no. 1850; Syaikh Al Albani mengatakan, hadits hasan shahih).

Nabi Saw berkhutbah saat haji Wada’, beliau juga menyampaikan poin tentang kewajiban nafkah:

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف

“Bertakwalah kamu kepada Allah tentang para wanita (isteri), karena sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan amanah Allah, dan kamu telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Dan kamu memiliki hak yang menjadi kewajiban mereka (para isteri), yaitu mereka tidak memperbolehkan seorangpun yang tidak kamu sukai menginjakkan permadani-permadani kamu”.

“Jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Dan mereka memiliki hak yang menjadi kewajiban kamu, yaitu (kamu wajib memberi) rizki (makanan) dan pakaian kepada mereka dengan ma’ruf (baik)” (HR Muslim, no. 1218).

Imam Ibnul Qaththan menukilkan ijma’ para ulama tentang masalah ini. “Ahlul ilmi (para ulama) telah sepakat adanya kewajiban memberi nafkah untuk para isteri atas para suami, jika mereka (para suami itu) telah baligh, kecuali isteri yang nusyuz (maksiat) dan enggan (mentaati suami)”.

Memenuhi Nafkah Sesuai Kadar Kemampuan

Para ulama berbeda pendapat mengenai besaran nafkah yang wajib diberikan oleh suami. Ulama dari kalangan Hanabilah berpendapat, kadar nafkah diukur sesuai dengan kondisi suami-isteri. Jika keduanya termasuk golongan yang dimudahkan rizkinya oleh Allah (artinya sama-sama berasal dari keluarga berada), maka wajib bagi suami memberi nafkah dengan kadar yang sesuai dengan keadaan keluarga mereka berdua.

Jika keduanya berasal dari keluarga miskin, maka kewajiban suami memberi nafkah sesuai dengan keadaan mereka. Namun, jika keduanya berasal dari keluarga yang berbeda tingkat ekonominya, maka kewajiban suami adalah memberikan nafkah sesuai dengan kadar keluarga kalangan menengah.

Sedangkan para ulama kalangan Hanafiah, Malikiyah dan Syafi’iyyah berpendapat, standar yang dijadikan acuan untuk menentukan kadar nafkah yang wajib diberikan suami adalah keadaan suami itu sendiri. Bukan kondisi kedua orangtua mereka. Sebagaimana firman Allah:

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَاهُ اللهُ لاَيُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَآءَاتَاهَا

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya“ (QS. Ath Thalaq : 7)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan, “Ini sesuai dengan hikmah dan rahmat Allah Ta’ala. Dia menjadikan (kewajiban) setiap orang sesuai dengan keadaannya, dan Dia meringankan dari orang yang kesusahan, sehingga, dalam masalah nafkah dan lainnya, Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai kemampuannya.”

Ibnu Katsir memberikan penjelasan tentang makna lafazh bil ma’ruf (بِالْمَعْرُوفِ) pada (QS. Al Baqarah : 233), dengan menyatakan, “Yakni sesuai dengan keadaan umum yang diterima kalangan para isteri di negeri mereka, tanpa berlebih-lebihan ataupun pelit, sesuai dengan kesanggupannya dalam keadaan mudah, susah ataupun pertengahan.”

Dalil lain yang memperkuat pendapat ini adalah firman Allah:

وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ

“Dan hendaklah kamu berikan suatu pemberian kepada mereka. Orang yang mampu sesuai dengan kemampuannya dan orang yang miskin sesuai dengan kemampuannya pula, yaitu pemberian menurut yang patut” (QS. Al Baqarah : 236).

Sebagaimana firman Allah:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sesuai dengan kadar kesanggupannya” (QS. Al Baqarah : 286).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Dan kebenaran yang ditetapkan oleh mayoritas ulama, bahwa nafkah isteri kembalinya adalah ‘urf (kebiasaan). Ukurannya tidak ditetapkan oleh syari’at. Nafkah itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan negara-negara, waktu, dan keadaan suami-isteri, serta kebiasaan keduanya. Karena Allah Ta’ala berfirman:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bergaullah dengan mereka (isteri-isteri kamu) secara patut” (QS. An Nisa’ : 19)

Dan Nabi Saw bersabda kepada Hindun isteri Abu Sufyan,

خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

“Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan patut.”

Sebagaimana sabda Nabi Saw saat haji wada’:

وَلَهُنَّ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف

“Dan mereka (para isteri) memiliki hak, yaitu (kamu wajib memberi) rizki (makanan) dan pakaian kepada mereka dengan ma’ruf (baik, patut)”.

Jika Suami Pelit

Jika suami pelit, tidak memberi nafkah yang cukup, padahal dirinya memiliki kemampuan, maka tidak mengapa istri meminta atau menuntut pemenuhan nafkah. Bahkan diperbolehkan mengambil sendiri tanpa sepengetahuan suami –sejumlah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok.

Nabi Saw telah memberikan arahan kepada Hindun, setelah mendapat laporan bahwa suami Hindun sangat pelit.

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

Dari ‘Aisyah bahwa Hindun binti ‘Utbah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan (suami Hindun) seorang laki-laki yang bakhil. Dia tidak memberi (nafkah) kepadaku yang mencukupi aku dan anakku, kecuali yang aku ambil darinya sedangkan dia tidak tahu”. Maka beliau bersabda: “Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan patut” (HR Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 1714).

Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlan menjelaskan, “Apa yang telah lalu ini menunjukkan kewajiban nafkah untuk isteri. Dan nafkah itu diukur dengan apa yang mencukupinya (isteri) dan anaknya dengan ma’ruf (patut, baik, umum). Jika suami tidak memberi nafkah, sesungguhnya sang isteri berhak mengambil nafkahnya dari harta suaminya, walau tanpa sepengetahuannya, dan hal itu hendaklah dengan ma’ruf”.

“Sepantasnya bagi isteri tidak membebani suaminya dengan banyak tuntutan. Hendaklah dia ridha dengan sedikit (nafkah), khususnya jika suami berada dalam kesusahan dan kemiskinan”, demikian penjelasan Syaikh As Sadlan.

Keutamaan Nafkah Kepada Keluarga

Banyak kalangan masyarakat mengira bahwa infak atau sedekah itu adalah ketika seseorang memberikan bantuan kepada orang lain yang memerlukannya. Seakan, pemberian kepada istri dan anak tidak dianggap sebagai infak atau sedekah. Padahal, justru pemberian kepada keluarga inilah infak / nafkah yang paling utama.

Nabi Saw bersabda:

دِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في سَبِيْلِ اللهِ وَ دِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في رَقَبَةٍ وَ دِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلىَ مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في على أهْلِكَ أعْظَمُهَا أجْرًا الَّذِي أنْفَتَهُ على أهْلِكَ

“Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu” (HR Muslim, Ahmad dan Baihaqi).

Nabi Saw juga bersabda:

مَا أطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ وَالِدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ زَوْجَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ

“Apa yang engkau berikan untuk memberi makan dirimu sendiri, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan anakmu, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan orang tuamu, maka itu adalah sedekah bagimu. Dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan isterimu, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan pelayanmu, maka itu adalah sedekah bagimu” (HR Ibnu Majah, 2138; Ahmad, 916727; dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah, 1739).

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab Fathul Bari menjelaskan, ”Memberi nafkah kepada keluarga merupakan perkara yang wajib atas suami. Syari’at menyebutnya sebagai sedekah, untuk menghindari anggapan bahwa para suami yang telah menunaikan kewajiban mereka (memberi nafkah) tidak akan mendapatkan balasan apa-apa. Mereka mengetahui balasan apa yang akan diberikan bagi orang yang bersedekah”.

“Oleh karena itu, syari’at memperkenalkan kepada mereka, bahwa nafkah kepada keluarga juga termasuk sedekah (yang mendapat pahala). Sehingga tidak boleh memberikan sedekah kepada selain keluarga mereka, sebelum mereka mencukupi nafkah (yang wajib) bagi keluarga mereka, sebagai pendorong untuk lebih mengutamakan sedekah yang wajib mereka keluarkan (yakni nafkah kepada keluarga) dari sedekah yang sunnah,” demikian ucapan Al Hafizh.

 

 

Bahan Bacaan

Az Zarqa’, Nafkah Untuk Sang Isteri, https://almanhaj.or.id, diakses pada 16  Februari 2021

Muhammad Abduh Tuasikal, Kewajiban Suami, 15 Februari 2012, https://rumaysho.com

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Insan Kami, 2018

 

 

Cahyadi Takariawan

Cahyadi Takariawan telah menulis lebih dari 50 judul buku yang sebagian besarnya bertema keluarga. Aktivitasnya saat ini selain menulis adalah menjadi narasumber dalam berbagai seminar dan pelatihan di dalam dan luar negeri. Mendirikan Jogja Family Center (JFC) pada tahun 2000 sebagai kontribusi untuk mengokohkan keluarga Indonesia. Kini JFC bermetamorfosis menjadi Wonderful Family Institute. Beliau dapat diakses melalui Instagram @cahyadi_takariawan

Tinggalkan Balasan