Peran Sosial Politik Muslimah di Zaman Sahabiyat Nabi
Oleh : Cahyadi Takariawan
Untuk memahami peran politik perempuan, pada awalnya bisa dilihat dari penghargaan Islam kepada kaum perempuan yang tampak nyata pada realitas penerapan ajaran dan sejarah kaum muslimin sejak generasi pertama. Orang pertama yang mengimani kerasulan Muhammad saw adalah Khadijah. Orang pertama yang gugur dalam membela kebenaran adalah Sumayyah. Islam menetapkan penghormatan tiga kali kepada ibu, baru kemudian kepada ayah. Bahkan surga tidak diberikan di bawah telapak kaki kaum laki-laki, tetapi di bawah telapak kaki kaum ibu.
Kita bisa memahami peran muslimah dalam aktivitas politik, dengan mengambil kisah di zaman kenabian dan zaman-zaman keemasan Islam. Sangat banyak kisah keterlibatan kaum muslimah dalam berbagai aktivitas politik dan publik, yang menandakan bahwa kaum perempuan di zaman itu memiliki peran dan keterlibatan yang sangat luas. Mereka ikut mengepung benteng Khaibar, terlibat dalam peperangan, berbaiat kepada Nabi, meluruskan kesalahan pemimpjn, dan berbagai macam aktivitas lainnya.
Dalam peristiwa pengepungan benteng Khaibar, kita mendapatkan kisah yang sangat menarik dari peran dan keterlibatan kaum perempuan. Ummu Sinan al Aslamiyyah radliyallahu anha meminta izin kepada Rasul saw untuk berangkat ke pengepungan Khaibar, “Wahai Rasulullah, aku akan ikut keluar bersamamu. Aku bisa menjahit geribah, merawat orang sakit dan terluka, dan menjaga kemah serta barang-barang”.
Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat al Kubra menyebutkan, jumlah akhwat muslimat yang terlibat dalam perang Khaibar mencapai lima belas orang. Mereka adalah Ummu Sinan al Aslamiyyah, Ummu Aiman, Salma, Ku’aibah binti Sa’ad al Aslamiyyah, Ummu Mutha’ al Aslamiyyah, Umayyah binti Qais al Ghifariyah, Ummu Amir al Asyhaliyyah, Ummu Adh Dhahak binti Mas’ud al Haritsiyyah, Hindun binti Umar bin Haram, Ummu Mani’ binti Umar, Ummu Imarah Nasibah binti Ka’ab, Ummu Salith an Najjariyyah, Ummu Sulaim, Ummu Athiyyah al Anshariyyah, dan Ummu al A’la al Anshariyyah.
Mereka terlibat secara aktif dalam pengepungan Khaibar bersama tentara laki-laki, bahkan menurut Imam Ahmad, Nabi Saw memberikan kepada mereka ghanimah. Sedangkan Imam Ahmad meriwayatkan ada enam perempuan dari perempuan-perempuan beriman terdahulu ikut bersama tentara mengepung Khaibar. Mereka ikut memegang anak panah, memberi minum dan mengobati orang-orang yang terluka, bersenandung dengan syair-syair dan membantu di jalan Allah.
Peperangan adalah salah satu bentuk partisipasi politik dalam urusan kedaulatan suatu negara. Laki-laki dan perempuan di zaman keemasan Islam telah berpartisipasi aktif membela kebenaran dan menegakkan supremasi daulah. Rasul mulia saw tidak menolak keterlibatan para akhwat muslimat dalam berbagai macam peperangan, untuk berbagai peran yang mungkin mereka lakukan.
Ar Rubayyi’ binti Mu’awwidz, pernah menuturkan, “Kami pernah bersama Nabi saw dalam peperangan. Kami bertugas memberi minum prajurit, melayani mereka, mengobati orang terluka, serta mengantarkan orang-orang yang terluka dan terbunuh ke Madinah” (Riwayat Bukhary).
Anas ra meriwayatkan bahwa Ummu Sulaim membawa pisau pada perang Hunain, ketika ditanya Nabi saw ia menjawab, “Aku bawa pisau ini, jika ada salah seorang musyrik menghampiriku akan aku tusuk perutnya” (Riwayat Muslim). Di Perang Uhud Umar ra menceritakan bahwa Rasul saw berkata, “Aku tidak menoleh ke kanan dan ke kiri kecuali aku melihat Ummu Imarah berperang untuk melindungiku”.
Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat menceritakan bahwa Ummu Imarah membawa senjata untuk melindungi Rasul saw. Hal ini menunjukkan para sahabiyat tidak semata-mata bekerja di sektor logistik dan kesehatan, akan tetapi juga punya fungsi perlindungan diri dan bahkan perlindungan terhadap Nabi saw dalam contoh Ummu Imarah tersebut.
Kita menyaksikan sejarah keterlibatan Ummu Imarah binti Ka’ab, seorang perempuan Banu Mazin, dan Asma’ binti Amr bin Adi, perempuan dari Bani Salamah, dalam bai’at Aqabah kedua bersama tujuhpuluh tiga kaum laki-laki. Bai’at Aqabah kedua terjadi pada malam hari di lembah Aqabah, berisi janji setia tujuhpuluh lima sahabat Yatsrib kepada Rasul saw.
Mereka berjanji untuk senantiasa mendengar dan taat, berinfaq di waktu sempit maupun lapang, untuk senantiasa melakukan amar ma’ruf nahi munkar, untuk berjihad di jalan Allah dan tidak takut celaan orang yang mencela, serta senantiasa membela Nabi saw. Syaikh Munir Muhammad al Ghadhban dalam kitabnya Al Manhaj al Haraki lis Sirah an Nabawiyah menganggap bai’ah ini merupakan persiapan pembentukan negara.
Setelah itu, kita juga mendapatkan kisah perempuan-perempuan mu’minat berbai’at kepada Rasul saw sesuai dengan perintah Allah Ta’ala:
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia (bai’at) bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak mereka, tidak berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka” (Al Mumtahanah 60 : 1-2).
Bai’at adalah manifesto kesetiaan kepada kepala negara, dengan demikian dianggap sebagai perwujudan partisipasi politik muslimah dalam urusan kenegaraan. Bahkan dalam pengertian Ahmad Shadiq Abdurrahman, bai’at adalah janji setia terhadap sistem politik Islam atau kekhalifahan Islam, serta kesetiaannya kepada jama’ah kaum muslim dan kepatuhan kepada pemimpin.
Dalam sejarah, secara khusus kita mengenal istilah bai’atun nisa’ yaitu bai’at kaum perempuan kepada Nabi atau juga bai’at yang di dalamnya tidak mengandung unsur peperangan.