Tiga Kunci Keberhasilan Hidup Berumah Tangga
Oleh : Cahyadi Takariawan
Ada tiga kunci an najah {sukses, keberhasilan, keselamatan) yang disabdakan Nabi Saw kepada sahabat Uqbah bin Amir.
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا النَّجَاةُ قَالَ أَمْلِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata, “Aku bertanya: wahai Rasulallah, apakah sebab keberhasilan?” Beliau menjawab, “Kuasailah lidahmu, hendaklah rumahmu luas bagimu, dan tangisilah kesalahanmu”. Hadits Riwayat Imam Tirmidzi, no.2406.
Dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi dijelaskan, makna hadits tersebut yaitu “janganlah engkau berbicara kecuali dengan hal yang membawa kebaikanmu, betahlah tinggal di dalam rumah dengan melakukan ketaatan-ketaatan, dan hendaklah engkau menyesali kesalahanmu dengan cara menangis”.
Kunci Keberhasilan Hidup Berumah Tangga
Dari hadits Nabi Saw yang bersifat umum tersebut, ingin saya bawa ke dalam konteks yang lebih khusus, yaitu dalam kehidupan berumah tangga. Ada tiga kunci keberhasilan atau keselamatan hidup berumah tangga, yaitu:
Pertama, Kemampuan Menjaga Lisan
Faktor penting untuk keberhasilan membangun hidup berumah tangga adalah kemampuan untuk menajaga lisan. Suami dan istri yang pandai menjaga lisannya, akan menjadi pasangan yang berbahagia. Suami tidak pernah mengelurkan kata-kata yang menyakiti, melukai dan menyinggung sang istri. Demikian pula sang istri tidak pernah mengelurkan kata-kata yang menyakiti, melukai dan menyinggung sang suami. Lisan mereka selalu terjaga dalam kebaikan.
Imam An Nawawi rahimahullah berkata, “Sudah sepantasnya bagi setiap mukallaf –orang yang berakal dan baligh, untuk menjaga lidahnya dari seluruh perkataan, kecuali perkataan yang jelas mashlahat padanya. Ketika berbicara atau meninggalkannya itu sama mashlahat-nya, maka menurut Sunnah adalah menahan diri darinya. Karena perkataan mubah bisa menyeret kepada perkataan yang haram atau makruh. Bahkan, ini banyak atau dominan pada kebiasaan. Sedangkan keselamatan itu tiada bandingannya”.
Imam An Nawawi melanjutkan, “Telah diriwayatkan kepada kami di dalam dua Shahih, Al-Bukhari (no. 6475) dan Muslim (no. 47), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.”
Aku katakan: hadits yang disepakati shahihnya ini merupakan nash yang jelas bahwa sepantasnya seseorang tidak berbicara, kecuali jika perkataan itu merupakan kebaikan, yaitu yang nampak mashlahat-nya. Jika dia ragu-ragu tentang timbulnya mashlahat, maka dia tidak berbicara”.
Imam Asy Syafi’i menjelaskan, “Jika seseorang menghendaki berbicara, maka sebelum dia berbicara hendaklah berpikir, jika nampak jelas mashlahat-nya dia berbicara, dan jika dia ragu-ragu, maka dia tidak berbicara sampai jelas mashlahat-nya.’”
Apabila suami dan istri masing-masing mampu menjaga lisannya dengan baik, tidaklah mereka berucap kecuali yang baik, maka akan membuat perasaan cinta di antara mereka selalu terjaga. Tidak ada kata-kata yang menyakitkan, tidak ada kata-kata yang merendahkan, tidak ada kata-kata yang melecehkan, tidak ada kata-kata yang menistakan, tidak ada caci maki, tidak ada umpatan.
Betapa bahagia hati suami, apabila memiliki istri yang pandai menjaga lisannya. Betapa bahagia istri, apabila memiliki suami yang pandai menjaga lisannya. Inilah kata kunci pertama keberhasilan membangun rumah tangga.
Kedua, Kebetahan di Dalam Rumah
Kunci kedua untuk keberhasilan membangun hidup berumah tangga adalah kebetahan di dalam rumah. Nabi Saw menyatakan dengan “walyasa’ka baituka”, hendaklah rumahmu luas bagimu. Kata luas, bisa memiliki dua makna. Makna secara fisik, artinya rumah memiliki ukuran yang luas sehingga bisa leluasa untuk berbagai macam kegiatan. Makna secara kiasan, artinya luas dari segi perasaan. Namun, karena hadits ini sedang berbicara tentang “an najah”, maka makna yang dijelaskan ulama bukanlah luas secara fisik.
Kadang seseorang memiliki rumah yang luas secara ukuran fisik, namun penghuninya merasa sempit. Hal ini bisa jadi karena kurang bersyukur atas karunia Allah. Akan tetapi bisa jadi pula karena situasi yang ada dalam rumah tersebut membuat penghuninya selalu merasa sempit dan tidak nyaman. Misalnya karena seringnya konflik antara suami dan istri, adanya persoalan yang tak segera terselesaikan, atau karena para penghuni rumah terbiasa melakukan kemaksiatan sehingga berpengaruh dalam jiwa mereka yang selalu merasa sempit. Bisa pula karena di dalam rumah tersebut tidak pernah digunakan untuk melakukan ketaatan kepada Allah sehingga dipenuhi setan.
Kadang seseorang memiliki rumah yang sempit secara ukuran fisik, namun penghuninya merasa lapang berada di dalamnya. Hal ini karena mereka selalu pandai bersyukur atas semua nikmat yang Allah berikan. Rumah yang sempit itu justru serasa mengasyikkan, karena suami dan istri selalu bisa bertemu, karena terbatasnya ruang dan ukuran rumah. Kemana-mana selalu ketemu pasangan. Ditambah lagi, penghuni rumah itu selalu melaksanakan ketaatan kepada Allah, sehingga hati menjadi lapang. Ketika suasana yang dibangun di dalam rumah tersebut selalu berada dalam ketaatan, maka akan membuat semua penghuninya merasa senang.
Terlebih ketika seseorang memiliki rumah yang luas secara ukuran, dan suasana rumah yang menyenangkan. Tidak ada kata-kata yang menyakitkan, tidak ada perbuatan yang membuat sesak dada, semua penghuni rumah merasa lega dan bahagia. Mereka selalu mensyukuri nikmat Allah atas rumah yang luas, dan mereka selalu mentaati Allah dan mencintai sunnah Rasulullah. Rumah yang luas tersebut menjadikan berkah melimpah sehingga semua penghuninya merasa betah tinggal di dalamnya.
Rumah yang selalu digunakan untuk melakukan ibadah, dengan mentaati Allah dan meneladani Rasulullah, itulah rumah yang akan membuat penghuninya merasa luas dan lapang. Bukan soal ukuran rumah, bukan soal kemewahan dan kemegahan rumah. Nabi Saw bersabda:
لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِى تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
“Janganlah jadikan rumah kalian seperti kuburan karena setan itu lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al Baqarah.” (HR. Muslim no. 1860)
Jika suami dan istri merasa betah di rumah, anak-anak merasa betah di rumah, maka rumah tangga mereka akan utuh dan bahagia. Berbeda dengan rumah yang membuat penghuninya tidak berah di rumah. Setiap kali berkumpul di rumah, yang terjadi hanyalah pertengkaran. Rumah telah dikuasai setan karena tidak pernah digunakan untuk menegakkan ketaatan kepada Allah. Justru rumah digunakan sebagai sarang maksiat kepada Allah. Ini yang membuat rumah tangga menjadi berantakan dan tidak bisa bertahan.
Ketiga, Kemampuan Memperbaiki Kesalahan
Kunci ketiga adalah kemampuan untuk memperbaiki kesalahan. Nabi Saw menyatakan dengan “wabki ‘ala khathi-atika”, tangisilah kesalahanmu. Salah satu sifat manusia adalah dhaif, lemah, mudah terjatuh ke dalam kesalahan serta dosa. Namun sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah ketika mereka menyadari, menyesali dan memperbaiki diri. Rasulullah Saw bersabda:
كُلُّ بَنِى آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
“Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat”. Hadits Riwayat Imam Ahmad (III/198); At Tirmidzi no. 2499; Ibnu Majah no. 4251 dan Al Hakim (IV/244).
Suami dan istri pasti pernah berbuat salah terhadap pasangan. Maka sikap yang paling tepat adalah dengan menyesali, menangisi, dan memperbaiki diri. Ketika suami berbuat salah kepada istri, segera menyesali kesalahan tersebut dan melakukan perbaikan. Demikian pula ketika istri berbuat salah kepada suami, hendaknya segera menyesali kesalahan tersebut dan melakukan perbaikan. Langkah seperti ini akan membuat suami dan istri sama-sama merasa nyaman. Walaupun pasangan pernah berbuat salah, namun ada penyesalan dan perbaikan.
Demikian pula dosa dan kesalahan kepada Allah, serta kepada sesama manusia. Sikap yang terbaik adalah dengan menyesali, menangisi, dan memperbaiki diri. Manusia yang bertaubat kepada Allah, adalah manusia yang selalu berada dalam kondisi “orisinil”. Merekalah sebaik-baik makhluk yang bersalah, karena mau melakukan perbaikan. Sedangkan seburuk-buruk makhluk bersalah, adalah ketika mereka tidak pernah merasa menyesal, tidak pernah menangisi kesalahan dan tidak mau melakukan perbaikan.
Penutup
Demikianlah tiga kuci keberhasilan hidup berumah tangga. Apabila suami dan istri mampu merealisasikan ketiganya, dijamin hidup berumah tangga akan selalu bahagia, bukan hanya ketika di dunia, namun hingga berada di surga. Jauhi kata-kata yang tak berguna —apalagi menyakiti pasangan, betahlah di rumah dengan menjalankan ketaatan, dan selalu memperbaiki diri. Dengan tiga kunci ini, hidup berumah tangga akan selalu dipenuhi suasana bahagia.