Mengapa Perceraian Meningkat di China Pasca Karantina Corona?

Mengapa Perceraian Meningkat di China Pasca Karantina Corona?

Oleh : Cahyadi Takariawan
Seiring semakin meredanya wabah corona di China, ternyata diimbangi dengan melonjaknya angka perceraian keluarga. The Star melaporkan, mengutip Sin Chew Daily, bahwa terjadi lonjakan kasus perceraian di China, setelah wabah Covid-19 melanda. Berkembang dugaan, bahwa pasangan yang “terjebak” di rumah semenjak tindakan karantina, telah memicu konflik dalam keluarga. Hal serupa telah ditulis oleh Fan Yiying dalam laporan di laman Sixth Tone, 3 April 2020.

“Karena wabah, banyak pasangan suami istri yang terkurung di dalam rumah selama sebulan penuh; akhirnya muncul konflik,” kata seorang karyawan di biro distrik Beilin seperti yang dikutip The Star. Dilaporkan juga bahwa Biro Urusan Sipil sedang mencoba untuk menghentikan antrean para pendaftar, dengan mengharuskan mereka yang ingin bercerai untuk mendaftar dan memilih waktu melalui portal online.

Tekanan Masalah

Sebenarnya, persoalan utama bukan karena suami dan istri “terjebak” pertemuan di dalam rumah mereka sendiri, karena hal itu adalah hal yang bahkan seharusnya terjadi. Namun lebih kepada suasana pertemuan yang tidak menyenangkan. Semua orang di China merasakan tekanan masalah, akibat wabah yang sangat ganas dan sangat cepat menyebar serta menimbulkan sangat banyak korban.

Berkumpul bersama keluarga dalam waktu lama, adalah berkah dan kebahagiaan, apabila didukung oleh suasana yang nyaman dan membahagiakan. Kenyataannya tidak demikian. Masyarakat China yang menjadi tempat perkembangan dan penyebaran Covid-19 dunia, mendapatkan tekanan masalah sangat berat. Mereka menyaksikan korban berjatuhan. Mereka dipaksa untuk berada di dalam rumah saja, sebagai kebijakan pemerintah setempat.

Jika mengacu kepada tahap kedukaan yang dikemukaan oleh Kubler-Ross (silakan simak kembali di sini), ketika manusia dihadapkan pada krisis, secara umumnya akan melewati lima tahap kedukaan, sebelum akhirnya bisa berdamai dan menerima kedukaan tersebut. Grief atau kedukaan, bisa memiliki banyak wajah dan bentuk. Wabah corona adalah salah satu contoh grief yang dihadapi oleh manusia saat ini. Pada kondisi wabah ini terjadi dengan sangat massif seperti di China, maka intensitas kedukaan atau krisis yang dihadirkan lebih tinggi dibandingkan dengan di tempat lain.

Dalam suasana ketertekanan, “dikurung” beberapa pekan di rumah tanpa bisa melakukan aktivitas yang leluasa, menyebabkan mudah muncul gesekan. Mudah muncul suasana emosional, yang tidak bisa tersalurkan dengan aktivitas lainnya. Maka akhirnya muncul menjadi pertengkaran, kekecewaan, kemarahan antara suami dan istri, yang membuat mereka memutuskan untuk bercerai usai menjalani karantina.

Teori Konflik

Jika kita kembalikan kepada teori konflik, memahami fenomena lonjakan kasus perceraian di China menjadi mudah dimengerti. Secara teori, konflik antarpribadi merupakan keniscayaan yang tidak dapat dielakkan. Bahkan, semakin tinggi saling ketergantungan antarpribadi, semakin meningkat pula kemungkinan terjadinya konflik. Artinya, semakin dekat hubungan satu orang dengan orang lain, justru semakin berpotensi terjadi konflik. Itulah sebabnya, konflik pada pasangan suami istri paling tinggi peluang kejadiannya, dibandingkan dengan hubungan antarpribadi lainnya (Frank D. Fincham, 2003).

Coba perhatikan. Anda akan sangat jarang konflik dengan teman jauh, atau kerabat yang tidak tinggal satu kota dengan Anda. Mengapa demikian? Karena Anda sangat jarang bertemu dan jarang berkomunikasi dengannya. Hanya sesekali waktu saja Anda bertemu dan berkomunikasi. Dengan intensitas pertemuan yang rendah, tingkat ketergantungan antarpribadi yang rendah, maka peluang konflik juga rendah.

Banyak studi menyatakan bahwa konflik pernikahan tidak bisa dihindari, namun kita bisa memilih hasil akhirnya. “Conflict is inevitable in marriage and can create damage or discovery — we choose which it will be. Discovery means learning new ideas, approaches and solutions if we fight together for our marriage” (Deb Dearmond, 2018). Sikap bijak dan dewasa dari pasangan suami istri, akan sangat menentukan kondisi akhir dari setiap konflik.

Pada dasarnya, konflik berguna untuk menguji karakteristik suatu hubungan. Dua orang yang memiliki hubungan berkualitas, akan mampu mengelola konflik dengan cara yang positif dan konstruktif. Konflik justru bermanfaat untuk membuang berbagai tumpukan emosi negatif yang terbentuk akibat interaksi rutin dan intens sehari-hari. Dengan pengelolaan yang baik, konflik justru dapat semakin memperkuat hubungan dan meningkatkan keharmonisan pasangan suami istri.

Keseimbangan Hidup

Psikolog Rob Pascale dan Lou Primavera Ph.D dalam artikel “Conflict in Relationships” di jurnal Psychology Today, menyatakan bahwa keseimbangan adalah kunci kebahagiaan. “Perpaduan waktu dengan teman dan keluarga, waktu bersama sebagai pasangan, dan waktu terpisah untuk masing-masing pasangan, akan menambah kualitas perkawinan, seperti halnya pemisahan yang sama antara lingkaran dan kegiatan kami dan orang-orang dari mitra kami”.

Secara lebih luas, yang diperlukan adalah keseimbangan antara sisi spiritual dengan material, ruhani dan jasmani, dunia dan akhirat. Semua sisi harus mendapatkan perhatian secara tepat, agar mampu menghadapi kehidupan dengan tenang dan nyaman. Bagi orang-orang beriman, menghadapi musibah mampu bersikap dengan bijak dan tepat, karena memiliki keseimbangan dalam kehidupan. Musibah dipahami sebagai ujian, peringatan dan cobaan dari Allah yang harus dihadapi dengan sikap sabar serta syukur.

Nabi saw telah bersabda, “Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)

Imam Al-Munawi dalam Faidhul Qadir menjelaskan, “Keadaan orang beriman semuanya baik. Hal seperti itu hanya bisa didapati pada orang beriman, dan tidak ditemukan pada orang kafir maupun munafik. Keajaibannya adalah ketika ia diberi kesenangan berupa sehat, keselamatan, harta dan kedudukan, maka ia bersyukur pada Allah atas karunia tersebut. Ia akan dicatat termasuk orang yang bersyukur. Ketika ia ditimpa musibah, ia bersabar. Ia akan dicatat termasuk orang yang bersabar”.

Orang beriman berada di antara dua kondisi yang sama-sama kebaikan, antara mendapatkan nikmat yang diperintahkan untuk mensyukuri, dan mendapatkan musibah yang diperintahkan untuk bersabar. Selain itu, orang-orang beriman juga memiliki struktur berpikir religius yang membuat mereka mampu menghadapi berbagai kondisi dalam perjalanan kehidupan.

Daftar Bacaan

C. Aruno dkk, Divorce Cases See ‘Viral Spread’ in China, dalam : www.thestar.com.my, 11 Maret 2020

Christina Gregory, Ph.D., The Five Stages of Grief, An Examination of the Kubler-Ross Model, dalam : https://www.psycom.net/depression.central.grief.html, April 2019

Deb Dearmond, 4 Steps to Deal With Conflict in Your Marriage, dalam : https://www.focusonthefamily.com, Mei 2018

Fan Yiying, Spousal Distancing : The Chinese Couples Divorcing Over Covid-19, dalam : http://www.sixthtone.com, 3 April 2020

Frank D. Fincham, Marital Conflict: Correlates, Structure, and Context, Sage Journals, dalam : https://journals.sagepub.com, 1 Februari 2003

Komunitas SukaQur’an, Struktur Berfikir Religius, dalam : www.ruangkeluarga.id, 2 April 2020

Rob Pascale dan Lou Primavera, Conflict in Relationships, What Role Do Disagreements Play in a Relationship? dalam : www.psychologytoday.com, 25 Februari 2016

ruangkeluarga

Tinggalkan Balasan